Zaenal Abidin |
JAKARTA -
Polemik penerapan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Produksi terus berlanjut. Jika sebelumnya mendapat kecaman
dari pemerhati anak, PP yang di dalamnya memperbolehkan aborsi bagi
perempuan hamil akibat pemerkosaan itu kini ditentang keras oleh
praktisi medis.
Bahkan, dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan enggan terlibat dalam implementasinya nanti.
"Kalau
ingin melakukan aborsi, jangan ajak-ajak kami (dokter). Jangan dokter
yang lakukan karena melanggar sumpah juga. Kami tidak mau dipenjara
karena sampai sekarang KUHP masih berlaku," ujar Ketua PB IDI Zaenal
Abidin saat ditemui di Jakarta, Rabu (13/8/2014).
Dijelaskan,
aborsi diperbolehkan dengan syarat terjadi kedaruratan medis. Namun
diluar itu, menurutnya, merupakan tindak pelanggaran pada ketentuan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya pasal 338 yaitu
sengaja menghilangkan nyawa. Juga bertentangan dengan kode etik
kedokteran.
"Kondisi
ini pun berpotensi menimbulkan pertentangan hati para dokter. Sebab
jika mengacu pada teori Phytagoras, awal kehidupan manusia itu terjadi
sejak dari pembuahan, dan teori ini diakui dalam etika kedokteran,"
jelasnya, seperti dilansir jpnn.com.
Karenanya,
ia mendesak Pemerintah untuk segera melakukan pengkajian ulang terkait
PP yang lebih dikenal dengan PP Aborsi ini. Terlebih, PP ini
dikhawatirkan akan membuka celah untuk disalahgunakan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab.
Kondisi
ini bercermin pada negara barat yang telah terlebih dahulu melegalkan
aborsi dengan alasan kesehatan atau perlindungan terhadap perempuan.
Hasilnya, angka aborsi di sana justru terus bertambah.
"PP
ini bisa disalahgunakan korban. Misalnya alesan kehamilanya menggangu
aktivitasnya karena itu hak ibu. Jika mau menyelamatkan nyawa bukan
dengan aborsi karena rawan digunakan oleh mereka yang hamil di luar
nikah," urainya.
Selain
itu, menurut alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ini,
pembuatan PP Aborsi seharusnya mempertimbangakan kondisi sosial
masyarakat Indonesia, mulai dari adat istiadat, etika kesusilaan, dan
agama. Sehingga tidak akan menimbulkan salah tafsir di masyarakat
Indonesia.
Digodok Lima Tahun
Terpisah,
Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi menampik jika PP kesehatan
reproduksi ini diputuskan tanpa pertimbangan mendalam. Ia mengatakan, PP
yang diteken oleh Presiden Susilo Bambang yudhoyono (SBY) 21 Juli 2014
lalu itu merupakan turunan undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009.
Dan, telah digodok selama lima tahun.
Selain
itu, lanjut dia, pada implementasinya nanti, aborsi tidak akan
sembarangan dilegalkan. Aborsi diperbolehkan jika dalam kondisi darurat
medis yang membahayakan nyawa ibu atau anak dan bagi korban perkosaan.
Pada
kondisi darurat, seorang yang ingin melakukan aborsi pun wajib mendapat
rekomendasi dari praktisi kesehatan yang expert di bidangnya. Sedangkan
bagi korban pemerkosaan, selain adanya bukti dan rekomendasi ahli
kesehatan, usia kandungan diharuskan maksimal 40 hari setelah haid
sebelumnya.
"itu
ada dalam fatwa MUI. Jika lebih (dari 40 hari) tidak diperbolehkan.
Jadi, memang ada persyaratan-persyaratannya, bukan sembarangan dan ini
amanah undang-undang. Tidak perlu dikontroversikan," tandasnya.
Dalam
kesempatan itu, dokter spesialis kesehatan anak itu pun mengatakan,
akan ada peraturan turunan yang akan mengatur lebih jauh ketentuan
aborsi ini. Mulai dari cara melindungi keselamatan perempuan yang
melakukan aborsi, di mana saja lokasi yang bisa digunakan, dan syarat
seperti apa saja yang harus dipenuhi.
"Semua
akan disosialisasikan sampai ke daerah," katanya. Dia pun berjanji akan
mengupayakan peraturan turunan seperti Peraturan Menteri (Permen) bisa
rampung sebelum pergantian pemerintahan pada 20 Oktober nanti. "Kita
kerjakan secepatnya,"t ambahnya.
Tentang
penolakan oleh praktisi medis, ia hanya menjawab secara diplomatis. Ia
mengasumsikan para dokter belum membaca. Ia pun mengelak jika para
dokter tidak diikutsertakan dalam pematangan PP ini.
"Mungkin
mereka belum membacanya. Namun untuk kemenkes, kita fokus ke hulu.
bagaimana caranya mencegah kehamilan yang tidak diinginkan atau
rencanakan. Kalau sudah terlanjur terjadi kehamilan, dua hal itu boleh
dilakukan," jelasnya.
Di
samping IDI, Nafsiah juga mengaku melibatkan pihak-pihak lainnya dalam
pembahasan PP tentang kesehatan reproduksi tersebut. Dia menuturkan,
pihak kepolisian juga terlibat dalam proses pembahasan PP tersebut.
"Kepolisian juga ikut terlibat baik di pembahasan dan pelaksanaan,"
katanya.
Sementara
itu, di tengan kontroversi pengadaan PP Kesehatan Reproduksi, Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPA) Linda Gumelar
menyatakan dukungannya terhadap pemberlakuan PP tersebut. Dia
menuturkan bahwa PP tersebut merupakan tindak lanjut dari Undang Undang
(UU) Kesehatan.
"Dan
ada persyaratan-persyaratan untuk aborsi itu, misalnya sakit jantung
dan perempuan-perempuan korban perkosaan,"kata Linda di Kompleks Istana
Kepresidenan, kemarin.
Linda
pun lantas menyatakan persetujuannya jika PP tersebut diterapkan bagi
para korban pemerkosaan. Sebab, dia mengungkapkan para korban perkosaan
tersebut pada umumnya mengalami trauma yang berkepanjangan. Di samping
itu, kebanyakan korban perkosaan masih di bawah umur.
"Mereka
tidak siap untuk punya anak. Kalau dari sisi perempuan dan kesetaraan
gender, saya kira ini adalah salah satu sikap pemerintah yang memberikan
peluang bagi korban-korban perkosaan yang masih di bawah umur dan
trauma cukup berat. Tapi tetap melalui proses ya, dari keluarga, pihak
medis, tokoh masyarakat, terkait keputusan aborsi tersebut. Jadi tidak
lantas semua aborsi boleh dilakukan,"imbuhnya.