JAKARTA - Staf ahli dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pinky Saptandari mengatakan, ada daerah di Indonesia yang para ibunya sudah menggunakan alat penunjang komunikasi yang baik, seperti BlackBerry (BB), tetapi secara umum anaknya masih mengalami gizi buruk.
Fenomena tersebut dikatakan Pinky sebagai dampak dari mitos-mitos keliru soal pola makan. Maka tak heran, meski berstatus ekonomi cukup baik, anak gizi buruk tetap ditemui di sejumlah daerah.
Mitos yang berkembang di masyarakat dapat memengaruhi pola makan dan kebiasaan makan sehari-hari. Sayangnya, tak sedikit pula mitos justru bersifat menyesatkan sehingga dapat menghambat kecukupan gizi.
Padahal, gizi merupakan salah satu pilar terpenting bagi kesehatan. Terlebih bagi bayi dan anak, gizi sangat memengaruhi tumbuh kembangnya. Kecukupan gizi adalah aspek mutlak demi kesehatan yang optimal.
"Mitos merupakan salah satu aspek budaya yang tidak dapat terlepas di tengah kehidupan bermasyarakat," ujar Pinky dalam acara Nutritalk bertajuk "Peran Budaya dalam Pemenuhan Gizi Ibu dan Anak" yang diselenggarakan Sarihusada di Jakarta, Rabu (17/7/2013).
Pinky mencontohkan, di Nigeria, bayi dilarang makan telur karena mitosnya bisa memperlambat menutupnya ubun-ubun. Padahal, telur merupakan salah satu sumber protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.
Ada pula daerah yang mengharuskan bayi untuk makan pisang yang dikerok. Padahal, usia bayi belum 6 bulan yang seharusnya hanya diberikan ASI.
Pinky mengatakan, karena sudah ada dari generasi-generasi sebelumnya, mitos sering kali tidak disadari. Maka dari itu, lanjutnya, dibutuhkan cara-cara untuk melenyapkan mitos keliru di masyarakat. Salah satunya membuat daftar kebiasaan makan dan menganalisisnya.
"Yang benar diteruskan, yang salah dibuang," tegasnya.
Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Made Astawan menuturkan, ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk menyingkirkan mitos keliru seputar kebiasaan makan. Yang pertama, edukasi melalui media massa, media sosial, dan sarana-sarana lain agar masyarakat lebih mudah mendapat informasi yang benar soal gizi.
Kedua, posyandu, puskesmas, dan penyedia jasa layanan kesehatan lain harus aktif mengampanyekan gizi. Bukan hanya pada masyarakat yang mengalami gizi buruk, melainkan juga menyeluruh ke semua lapisan masyarakat.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat perlu ditingkatkan untuk mengangkat status ekonomi. "Dengan status ekonomi yang membaik, mereka akan semakin mudah memenuhi gizi keluarganya," pungkasnya.
Fenomena tersebut dikatakan Pinky sebagai dampak dari mitos-mitos keliru soal pola makan. Maka tak heran, meski berstatus ekonomi cukup baik, anak gizi buruk tetap ditemui di sejumlah daerah.
Mitos yang berkembang di masyarakat dapat memengaruhi pola makan dan kebiasaan makan sehari-hari. Sayangnya, tak sedikit pula mitos justru bersifat menyesatkan sehingga dapat menghambat kecukupan gizi.
Padahal, gizi merupakan salah satu pilar terpenting bagi kesehatan. Terlebih bagi bayi dan anak, gizi sangat memengaruhi tumbuh kembangnya. Kecukupan gizi adalah aspek mutlak demi kesehatan yang optimal.
"Mitos merupakan salah satu aspek budaya yang tidak dapat terlepas di tengah kehidupan bermasyarakat," ujar Pinky dalam acara Nutritalk bertajuk "Peran Budaya dalam Pemenuhan Gizi Ibu dan Anak" yang diselenggarakan Sarihusada di Jakarta, Rabu (17/7/2013).
Pinky mencontohkan, di Nigeria, bayi dilarang makan telur karena mitosnya bisa memperlambat menutupnya ubun-ubun. Padahal, telur merupakan salah satu sumber protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.
Ada pula daerah yang mengharuskan bayi untuk makan pisang yang dikerok. Padahal, usia bayi belum 6 bulan yang seharusnya hanya diberikan ASI.
Pinky mengatakan, karena sudah ada dari generasi-generasi sebelumnya, mitos sering kali tidak disadari. Maka dari itu, lanjutnya, dibutuhkan cara-cara untuk melenyapkan mitos keliru di masyarakat. Salah satunya membuat daftar kebiasaan makan dan menganalisisnya.
"Yang benar diteruskan, yang salah dibuang," tegasnya.
Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Made Astawan menuturkan, ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk menyingkirkan mitos keliru seputar kebiasaan makan. Yang pertama, edukasi melalui media massa, media sosial, dan sarana-sarana lain agar masyarakat lebih mudah mendapat informasi yang benar soal gizi.
Kedua, posyandu, puskesmas, dan penyedia jasa layanan kesehatan lain harus aktif mengampanyekan gizi. Bukan hanya pada masyarakat yang mengalami gizi buruk, melainkan juga menyeluruh ke semua lapisan masyarakat.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat perlu ditingkatkan untuk mengangkat status ekonomi. "Dengan status ekonomi yang membaik, mereka akan semakin mudah memenuhi gizi keluarganya," pungkasnya.